Jumat, 24 April 2009

Ujian Nasional

(bagian 1)

Ujian Nasional telah dilaksanakan, berbagai pesta dilaksanakan para pelajar SMA dengan mencorat-coret baju seragam mereka. Kini giliran siswa SMP yang harus berjuang mengerjakan soal-soal ujian yang dikirim pusat. Memang agak terkesan aneh, disaat era otonomi sekolah, masih saja ada intervensi terhadap proses pendidikan di sekolah, yang notabenenya sering ditumpangi oleh berbagai kepentingan.

Keanehan itu makin mengemuka manakala yang berbicara adalah otoritas dan kekuasaan, betapa tidak, siswa-siswa kita dipaksa mencapai batas tertentu dalam pengerjaan UN. Padahal kenyataannya, kemampuan mereka masih jauh di bawa itu. Sebagai warga negara yang cinta tanah air, saya pasti merasa tersinggung dan miris, jika Indonesia diklasifikasikan sebagai negara yang pendidikannya rendah. Tapi kualitas pendidikan itu bukan semata-mata masalah angka ujian. Ada banyak indikator yang diperhitungkan dalam menentukan hal itu.

Oleh karenanya, menjadi sangat naif apabila kita memaksakan siswa kita untuk dapat mencapai batas nilai tertentu, sembari di ancam jika mereka tidak memenuhi batas itu berarti mereka tidak lulus. Pakar mana pun, kalau mereka menyadari keadaan, akan menolak pemikiran seperti ini. Namun anehnya, Depdiknas justeru mendukung pemikiran demikian bahkan kemudian dituangkan dalam kebijakan yang diterapkan secara aktif.

Apa artinya bagi dunia pendidikan kita?
harus diakui bahwa sepanjang sejarah pendidikan nasional, baru kali ini kita melaksanakan kebijakan yang sangat keliru, sangat tidak ilmiah dan tidak strategik. "Mematok batas lulus di atas kemampuan siswa tanpa studi pendahuluan terlebih dahulu" adalah kesalahan terburuk yang pernah dilaksanakan penyelenggara negara sepanjang sejarah negara ini.

Mengapa saya katakan terburuk?
Saya akan mulai dari hasil penangkapan Densus 88 terhadap 16 guru di Lubuk Pakam, para pengambil kebijakan di Depdiknas atau penggagas pematokan nilai itu sendiri, mungkin dapat berkilah kalau itu dilakukan hanya oleh segelintir guru saja. Padahal, hampir semua guru, semua kepala sekolah, pengawas dan dinas pendidikan melakukan hal serupa itu.

Bayangkan! guru, kepala sekolah, pengawas dan pegawai dinas? semua melakukan hal yang hampir sama dengan itu, membantu siswa secara langsung dalam mengerjakan soal UN! Mengapa demikian? "kami harus membantu para siswa" itulah jawab mereka. Betapa menyedihkan bukan? begitukah cara meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita tercinta?

Buat apa guru harus berkualifikasi S1, buat apa pakar pendidikan yang ilmunya setinggi langit dengan gelar akademik bertumpuk-tumpuk, kalau untuk meningkatkan nilai siswa cukup oleh seorang lulusan SMA saja? Bukankah sangat mudah untuk menjawab soal kemudian memberikannya kepada peserta UN? atau merevisi jawaban mereka setelah jam ujian berlangsung? butuh pendidikan apa untuk itu? cukup SMA.

Pertanyaannya adalah benarkah semua itu terjadi? para pelaku pasti berteriak keras dihatinya "benaar!". Rekan-rekan Puspendik pasti tahu jawabannya, karena mereka meninggalkan jejak pada jawaban siswa. Sangat aneh kan? apabila soal yang sukar sebagian besar dapat dikerjakan dengan baik, sementara soal yang mudah justeru kebanyakan salah? Belum lagi skor yang seragam, alih-alih mendekati kurva normal, kurvanya malah berbentuk garis lurus. Hanya ada dua kemungkinan penyebab dari kurva yang seperti itu, pertama soal yang diberikan buruk, kedua ada supply jawaban untuk soal tersebut.

Kalau penyebab pertama yang terjadi, Puspendiklah yang harus bertanggung jawab, dengan kata lain mereka tidak kompeten untuk melaksanakan penilaian pendidikan. Tapi kalau penyebab kedua yang terjadi, penyelenggara ujianlah yang harus mempertanggungjawabkan semua itu.

Bagaimana kenyataannya? insiden Densus 88 membuktikan bahwa penyebabnya adalah penyelenggaraan ujian yang tidak benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar